Waktu itu yang diceritakan Musisi Ahmad Dhani, mantan suami Maia Estianti..
Diacara tersebut diceritakan kalau ahmad dhani suka dan mendalami ajaran sufi,,, sampai dia mengundang guru besar sufi dari afganistan dan irak... WOW.... hebat gumamq...
Dari dulu saya sudah penasaran dengan ajaran ini soalnya ada teman kalau bicara itu selalu ada makna disetiap katanya yang sulit aku mengerti,, ternyata kata-kata nya itu terdapat dalam ilmu sufi(itu pngekuan dia). Mulailah aku minta bantuan ma mbah google... Lah disitu dijelaskan malah ada orang yang gila gara2 ajaran in, berarti ilmu ini benar berat... Dan pendapat teman2q juga sama...
semakin penasaran disini q selalu bertanya bagaimana, gimana dan apa sih sebenarnya ajaran ini???
ini hasil dari mbah google...
MENGENAL BEBERAPA KEYAKINAN SUFI
Sesungguhnya para penguasa sufi telah berusaha memelihara keyakinan-keyakinan tasawuf, yakni, dengan merancukan dan menghapuskan ayat-ayat Al-Kitab Al-Karim.
Membolak-balik, serta merubah pemahaman
Sunnah An-Nabawiyah yang telah suci. Akan tetapi Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah menakdirkan untuk agama ini, orang-orang yang memperbaharui
agama-Nya.
Yakni, dengan membersihkan Islam dari
bermacam aqidah dan filsafat yang mengalir dalam benak manusia akibat
pengaruh pola pikir keberhalaan.
Maka, diungkaplah borok-borok mereka,
dipilah perkataan mereka serta diterangkan kebohongannya. Metoda
merekapun dibuyarkan dengan menelaah kitab-kitab induk sufi. Berikut
secara ringkas ditampilkan keyakinan-keyakinan mereka.
ILMU LADUNI
Istilah ini dikaitkan kepada firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala tentang nabi Khidir:
Istilah ini dikaitkan kepada firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala tentang nabi Khidir:
وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا﴿٦٥
“Artinya :…Dan Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”. [Al-Kahfi : 65].
“Artinya :…Dan Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”. [Al-Kahfi : 65].
Yang dimaksud dengan ayat diatas, menurut
mereka, adalah disingkapnya alam ghaib bagi mereka. Caranya, dengan
kasyaf (penyingkapan), tajliyat (penampakan) serta melakukan kontak
langsung dengan Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[1].
Mereka berdalil dengan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala.
وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ﴿٢٨٢
“Artinya : Dan bertaqwalah kepada Allah, maka Allah akan mengganjari kepada kalian semua”. [Al-Baqarah : 282].
Pemikiran ilmu laduni dipelopori oleh
Hisyam Ibnu Al-Hakam (wafat 199H), seorang penganut Syi’ah yang mahir
ilmu kalam. Ia berasal dari Kufah. [2]
Orang-orang sufi, dalam rangka merealisir ajarannya, menempuh beberapa jalan. Jalan terpenting itu, diantaranya :
[1] Menjauhkan diri dari menuntut ilmu
syar’i. Dikatakan oleh Al-Junaid, seorang pentolan sufi, “Yang paling
aku sukai pada seorang pemula, bila tak ingin berubah keadaannya,
hendaknya jangan menyibukkan hatinya dengan tiga perkara berikut :
mencari penghidupan, menimba ilmu (hadits) dan menikah. Dan yang lebih
aku sukai lagi, pada penganut sufi, tidak membaca dan menulis. Karena
hal itu hanya akan menyita perhatiannya”.[3]
Demikian pula yang dikatakan Abu Sulaiman
Ad-Darani, “Jika seseorang menimba ilmu (hadits), bepergian untuk
mencari penghidupan, atau menikah, sungguh ia telah condong kepada
dunia”[.4]
[2] Menghancurkan sanad-sanad hadits dan
menshahihkan hadits-hadits dha’if (lemah), munkar dan maudhu’ (palsu)
dengan cara kasyaf. Sebagaimana dikatakan Abu Yazid Al-Busthami,
“Kalian mengambil ilmu dari mayat ke mayat. Sedang kami mengambil ilmu
dari yang Maha Hidup dan tidak pernah mati.
Hal itu seperti yang telah disampaikan
para pemimpin kami : “Telah mengabarkan pada aku hatiku dari Rabbku”.
Sedang kalian (maksudnya, kalangan Ahlu Al-hadits) mengatakan : “Telah
mengabarkan kepada kami Fulan”. Padahal, bila ditanya dimana dia (si
Fulan tersebut) ?.
Tentu akan dijawab : “Ia (Fulan, yakni
yang meriwayatkan ilmu atau hadits tersebut) telah meninggal”.
“(Kemudian) dari Fulan (lagi)”.
Padahal, bila ditanyakan dimana dia (Fulan tadi)? Tentu akan dijawab : “Ia telah meninggal”.[5]
Dikatakan pula oleh Ibnu Arabi, “Ulama
Tulisan mengambil peninggalan dari salaf (orang-orang terdahulu) hingga
hari kiamat. Itulah yang menjauhkan atau menjadikan timbulnya jarak
antara nasab mereka.
Sedang para wali mengambil ilmu dari
Allah (secara langsung -pent). Yakni, dengan cara Ia (Allah)
mengilhamkan kedalam hati para wali”[6].
Dikatakan oleh Asy-Sya’rani, “Berkenan
dengan hadits-hadits. Walaupun cacat menurut para ulama ilmu hadits,
tapi tetap shahih menurut ulama ilmu kasyaf”.[7].
[3] Menganggap menimba ilmu (hadits)
sebagai perbuatan aib dan merupakan jalan menuju kemaksiatan serta
kesalahan. Ibnu Al-Jauzi menukil, bahwa ada seorang syaikh sufi melihat
seorang murid membawa papan tulis (baca : buku), maka dikatakannya
kepada murid tersebut :”Sembunyikan auratmu”.[8] Bahkan, mereka saling
mewariskan sebagian pameo-pameo yang bertendensi menjauhkan peninggalan
salaf, umpanya : Barang siapa gurunya kitab, maka salahnya lebih
banyak dari benarnya.
Sanggahan terhadap pernyataan-pernyataan sebagaimana diungkap diatas :
Pertama.
Barangsiapa berkeyakinan, bahwa dengan kemampuannya dapat berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti keadaan nabi Khidir dengan nabi Musa, maka ia telah kafir berdasarkan ijma’ para ulama kaum muslimin. Karena, nabi Musa tidaklah diutus kepada nabi Khidir, dan tidak pula nabi Khidir diperintahkan untuk mengikuti nabi Musa.
Barangsiapa berkeyakinan, bahwa dengan kemampuannya dapat berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti keadaan nabi Khidir dengan nabi Musa, maka ia telah kafir berdasarkan ijma’ para ulama kaum muslimin. Karena, nabi Musa tidaklah diutus kepada nabi Khidir, dan tidak pula nabi Khidir diperintahkan untuk mengikuti nabi Musa.
Padahal Allah telah menjadikan
masing-masing nabi mempunyai jalan dan minhaj yang berbeda-beda. Dan
peristiwa yang demikian itu, berulang kali terjadi sebelum beliau
diutus sebagai nabi. Seperti, sezamannya nabi Luth denga nabi Ibrahim,
nabi Yahya dengan nabi Isa.
Sesungguhnya para nabi tersebut
dibangkitkan untuk kaumnya saja, sedangkan Muhammad shalallallahu
‘alaihi wa sallam dibangkitkan untuk seluruh manusia hingga hari
kiamat. Telah bersabda Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Adalah para nabi diutus untuk
kaumnya saja, sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia”. [Hadits
Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim].
“Artinya : Tidak seorang pun dari umat
ini yang mendengar tentangku, baik Yahudi atau Nashrani, kemudian tidak
beriman kepadaku, melainkan akan dimasukkan ke neraka” [Hadits Shahih
Riwayat Muslim I/93]
Aqidah semacam ini merupakan asasnya Islam, berdasarkan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Tidaklah engkau Kami utus
kecuali untuk seluruh manusia, sebagai pemberi khabar gembira dan
pemberi peringatan”. [Saba' : 28]
Dan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Katakanlah, wahai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua”. [Al-A'raf : 157]
Dan siapa saja yang ‘alim, baik jin
maupun manusia, diperintahkan untuk mengikuti rasul yang ummi ini. Maka
barangsiapa yang mengaku bahwa dengan kemampuannya dapat keluar dari
minhaj dan petunjuk nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ke
minhaj lainnya, walaupun minhaj Isa, Musa, Ibrahim, maka dia sesat dan
menyesatkan. Telah bersabda Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Seandainya Musa turun, lalu
kalian semua mengikutinya dan meninggalkan aku, maka sungguh sesatlah
kalian. Aku adalah bagian kalian, dan kalian adalah bagian dari
umat-umat yang ada”. [Riwayat Baihaqi dalam Syu'abu al-Iman, dan lihat
pula dalam Irwa'al-Ghalil karangan Al-Bani hal. 1588]
Adapun keyakinan orang-orang sufi bahwa
nabi Khidir masih tetap hidup, selalu berhubungan dengan mereka,
mengajarkan kepada mereka ilmu yang diajarkan Allah kepadanya, seperti
nama-nama Allah yang Agung, hal ini merupakan dusta dan mengada-ada.
Karena menyelesihi Al-Qur’an secara nyata :
وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ
“Artinya : Dan tidaklah kami jadikan seorang manusiapun sebelummu abadi”. [Al-Anbiya' : 34]
“Artinya : Tidak ada satu jiwapun yang
bernafas pada hari ini yang datang dari zaman seratus tahun sebelumnya,
sedangkan dia saat sekarang ini masih hidup”. [Hadits Riwayat Ahmad
dan Tirmidzi dari Jabir]
Hadits-hadits yang menerangkan masih hidupnya nabi Khidir semuanya maudhu’ (palsu) menurut kesepakatan seluruh ulama hadits.[9]
Kedua.
Adapun hujjah mereka dengan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan bertaqwalah kepada Allah dan Allah akan mengajarimu (ilmu)”. [Al-Baqarah : 282]
Adapun hujjah mereka dengan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan bertaqwalah kepada Allah dan Allah akan mengajarimu (ilmu)”. [Al-Baqarah : 282]
Hal itu bukanlah hujjah, karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan pemahaman
ayat ini dan telah menentukan cara mencari ilmu yang disyari’atkan dan
diwajibkan atas setiap muslim. Seperti sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
“Artinya : Sesungguhnya ilmu itu
(diperoleh) dengan cara belajar”. [Hadits Riwayat Daruquthni dalam
Al-Ifrad wa al-Khatib dalam tarikhnya dari Abu Hurairah dan Abu Darda'.
Lihat Silsilah Ash-Shahihah 342]
Kata innama (sesungguhnya) disini adalah untuk membatasi.
Ketiga.
Perihal pendapat mereka yang menyatakan, bahwa mencari ilmu dengan cara belajar adalah jalan yang memayahkan, terlalu bertele-tele, dianggap condong kepada dunia serta menyita perhatian dan kesungguhan (walaupun telah tinggi dalam menuntut ilmu tadi), tetap dianggap tidak sempurna. Kecuali, bila ditempuh dengan cara kasyaf dan ilham.
Perihal pendapat mereka yang menyatakan, bahwa mencari ilmu dengan cara belajar adalah jalan yang memayahkan, terlalu bertele-tele, dianggap condong kepada dunia serta menyita perhatian dan kesungguhan (walaupun telah tinggi dalam menuntut ilmu tadi), tetap dianggap tidak sempurna. Kecuali, bila ditempuh dengan cara kasyaf dan ilham.
Berkenan dengan ilmu itu sendiri,
termasuk tentunya dalam pengamalannya. Bahkan sebatas mencari ilmu
semata. Berkata Ibnu Al-Jauzi, “Iblis menginginkan untuk menutup jalan
tersebut dengan cara yang paling samar.
Memang jelas bahwa yang dimaksud adalah
mengamalkannya bukan sebatas mencari ilmu saja. Namun, dalam hal ini
para penipu itu telah menyembunyikan masalah pengamalannya. [10] Dan
tidaklah kasyaf yang mereka dakwakan itu, kecuali hanya khayalan setan
belaka.
“Artinya : Maukah Aku khabarkan kepada
kalian tentang kepada siapa setan turun ? (Setan) turun kepada setiap
pendusta dan suka berbuat dosa. Mereka menghadapkan pendengarannya itu
(kepada setan), dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta”.
[Asy-Syu'ara : 221-223]
“Artinya : Tidaklah kamu melihat
bahwasanya Kami telah mengirim setan-setan itu kepada orang-orang kafir
untuk menghusung mereka agar berbuat maksiat dengan sungguh-sungguh ?
Maka janganlah kamu tergesa-gesa memintakan siksaan bagi mereka, karena
sesungguhnya Kami hanya menghitung (hari siksaan) itu untuk mereka
dengan perhitungan yang teliti. Ingat ketika hari Kami mengumpulkan
orang-orang yang bertaqwa kepada Rabb yang Maha Pemurah sebagai
perutusan yang terhormat. Dan kami akan menghalau orang-orang yang
durhaka ke neraka Jahannam dalam keadaan dahaga”. [Maryam : 83-86]
Adapun pengakuan mereka, seperti
pensyarah Al-Ushul katakan, bahwa kasyaf merupakan bagian dari iman
yang benar. Dan maksud kasyaf adalah disingkapkannya sebagian yang
tersembunyi, dan tidak tampak, mengetahui gerak-gerik jiwa dan niat
serta kelemahan sebagian manusia. Kasyaf semacam inilah yang disebutkan
dalam hadits syarif sebagai firasat seorang yang beriman. [11] Jadi
bila ada perkataan mereka semacam ini : “Telah mengabarkan kepadaku
hatiku dari Rabb-ku” tidak lain adalah perkataan khurafat.
Keempat.
Sebagian mereka mengakku dapat melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tidurnya, lalu mengajarkan kepadanya beberapa perkara dan memintanya untuk berbuat begini dan begitu.
Sebagian mereka mengakku dapat melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tidurnya, lalu mengajarkan kepadanya beberapa perkara dan memintanya untuk berbuat begini dan begitu.
Seperti, kata Ibnu Arabi, “Sesungguhnya
aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi.
Aku melihatnya saat sepuluh akhir di bulan Muharram 627H, di Mahrusah,
Damsyiq. Saat itu di tangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
membawa kitab. Maka sabdanya kepadaku, ‘Kitab ini adalah kitab Fushush
Al-Hikam’. Ajarkan dan sebarkan kepada manusia agar bisa memetik
manfa’at darinya.
Kemudian aku katakan, Aku dengar dan taat
kepada Allah, Rasul-Nya serta ulil amri diantara kita sebagaimana yang
engkau perintahkan. Maka, aku pun berusaha merealisasikan cita-cita
dan aku murnikan niatku serta kubulatkan tekad untuk mengajarkan kitab
ini sebagaimana diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
tanpa mengurangi dan menambahinya”.
Bantahan Terhadap Pendapat Diatas Adalah Sebagai Berikut:
[1] Para Rasul tidak memerintahkan kemaksiatan apalagi kekufuran,
seperti yang memenuhi kitab Fushush Al-Hikam. Seperti, mengkafirkan
nabi Allah, Nuh (hal. 70-72), meyakini bahwa Fir’aun itu telah beriman
(hal. 21), membenarkan pendirian Samiri dan perbuatannya dalam membuat
patung (yang menimbulkan fitnah di kalangan bani Israil) hingga
mengibadahinya (hal. 188).
[2] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruh menyelisihi syari’at.
Sesungguhnya, ada yang mengatakan bahwa setan menampakkan diri dalam
bentuk nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan Ibnu Arabi.
Padahal mustahil hal itu bisa terjadi. Dia (Ibnu Arabi) telah tertipu
dan terperdaya. Walau ia mengatakan yang demikian itu dengan niat baik
dan prasangka bersih. Tetapi yang demikian itu mustahil, karena setan
tidak akan mampu menyerupai nabi. Maka, bagaimana hal itu bisa terjadi
padahal Nabi yang ma’shum Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
“Artinya : Barangsiapa yang melihatku
(dalam mimpinya) maka sesungguhnya akulah dia. Karena sesungguhnya
setan tidak bisa menyerupaiku”. [Hadits Shahih Riwayat Tirmidzi dari
Abu Hurairah, mempunyai penguat yang sangat banyak, sebagiannya Shahih
diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Lihat Shahih Al-Jami' dan ziyadahnya
V/293]
Berdasarkan keterangan diatas, maka kita
berkeyakinan bahwa Ibnu Arabi dan para pengikutnya adalah dajjal-dajjal
Khurasan. Sedang perkataan-perkataan mereka dusta dan tidak mengandung
kebenaran sama sekali.
Oleh
Salim Al-Hilali dan Ziyad Ad-Dabij
Salim Al-Hilali dan Ziyad Ad-Dabij
[Disadur dari kitab Al-Islam fi-Dha'u
Al-Kitab wa As-Sunnah, cet.II, hal. 81-97. Dan dimuat di majalah
As-Sunnah edisi 17/II/1416H-1996M, dengan judul Borok-Borok Sufi]
________
Foote Note.
[1]. Ihya ‘Ulummuddin, Al-Ghazali, I/19-20 dan III/26, cet. Istiqomah, Qahirah.
[2]. Minhaj As-Sunnah, Syaikh Islam Ibnu Taimiyah, hal. 226
[3]. Quwat Al-Qulub, III/35
[4]. Al-Futuhat Al-Makkiyah, Ibnu Arabi, I/37.
[5]. Al-Kawakib Ad-Durriyah, hal. 226 dan Al-Futuhat Al-Makkiyah, I/365.
[6]. Al-Kawakib Ad-Durriyah, hal. 246 dan Rasail, Ibnu Arabi, hal.4.
[7]. Al-Mizan, I/28.
[8]. Tablis Iblis, hal. 370.
[9]. Al-Manar Al-Munif, Ibnu Qayim Al-Jauziyah.
[10]. Shaid Al-Khaathir, Ibnu Jauzi, I/144-146.
[11]. Syarah Al-Ushul Al-Isyrin, hal 27. copyleft almanhaj.or.id
sumber: http://ibnuramadan.wordpress.com________
Foote Note.
[1]. Ihya ‘Ulummuddin, Al-Ghazali, I/19-20 dan III/26, cet. Istiqomah, Qahirah.
[2]. Minhaj As-Sunnah, Syaikh Islam Ibnu Taimiyah, hal. 226
[3]. Quwat Al-Qulub, III/35
[4]. Al-Futuhat Al-Makkiyah, Ibnu Arabi, I/37.
[5]. Al-Kawakib Ad-Durriyah, hal. 226 dan Al-Futuhat Al-Makkiyah, I/365.
[6]. Al-Kawakib Ad-Durriyah, hal. 246 dan Rasail, Ibnu Arabi, hal.4.
[7]. Al-Mizan, I/28.
[8]. Tablis Iblis, hal. 370.
[9]. Al-Manar Al-Munif, Ibnu Qayim Al-Jauziyah.
[10]. Shaid Al-Khaathir, Ibnu Jauzi, I/144-146.
[11]. Syarah Al-Ushul Al-Isyrin, hal 27. copyleft almanhaj.or.id